Coaching, compassion & leader - Taufiq Amir
469
post-template-default,single,single-post,postid-469,single-format-standard,bridge-core-2.7.2,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-25.7,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.6.0,vc_responsive

Coaching, compassion & leader

Coaching, compassion & leader

positive_brainKepemimpinan dan berbagai teori? yang terkait dengan pengembangan sosok pemimpin merupakan aspek yang sering dibicarakan dalam dunia kerja. Berbagai cara dikemukakan orang untuk mengembangkan kepemimpinan seseorng, apapun bentuk organisasinya. Namun pertanyaan riset dan teori yang disodorkan oleh Boyatzis, Smith dan Blaize *) cukup unik. Seperti apa pengaruh melakukan coaching dengan compassion (belas asih) dapat menciptakan sosok pemimpin yang tahan uji? Sehingga mereka kuat menghadapi berbagai tantangan dan tekanan yang terkait dengan pekerjaannya?

Memanfaatkan perkembangan baru neuroscience dan biologi dalam menjelaskan kepemimpinan dan stress, Boyatzis dkk menemukan jawabannya. Pemimpin yang melakukan pratek coaching pada bawahannya, bila dengan penuh compassion, bisa menyehatkan si pemimpin itu. Secara alami, fisiologisnya terhindar dari penyakit-penyakit yang biasanya langganan menyertai stress.

Yang diteliti oleh mereka adalah respon syaraf atas berbagai gaya coaching yang bertujuan meningkatkan keefektifan belajar seseorang. Dengan teknologi tinggi, bagian-bagian otak yang menjelaskan kerja emosi dipelajari. Ditemukan, melakukan coaching dengan penuh compassion bisa membangkitkan bagian otak yang bertanggung jawab menghasilkan emosi positif. Berbagai mekanisme sistem syaraf yang membuat orang menaklukkan emosi negatifnya berlangsung di bagian ini.

Coaching dengan compassion ini digambarkan sebagai hubungan yang penuh perhatian dimana antara pemimpin yang bertindak sebagai coach dan bawahannya punya ?gelombang? emosi yang sama. Keduanya saling berempati, memahami perasaan masing-masing, memiliki keterikatan yang kuat dan punya keinginan memperhatikan perasaan dalam bertindak.? Pendeknya, mutu hubungan diantara keduanya diwarnai trust, rasa hormat, dan kejujuran. Sebuah mutu hubungan yang tinggi.

Boyatzis dan rekan2nya menemukan bahwa hal di atas tersebut bisa mendorong sikap terbuka melihat berbagai kemungkinan. Meskipun para pemimpin dihadang berbagai tantangan dalam pekerjaannya, coaching pada bawahannya itu memfasilitasi mereka untuk belajar juga. Dalam hal ini, berbagai tantangan yang mereka hadapi juga dilihat sebagai satu peluang untuk belajar.

Jadi, kalau anda seorang pemimpin, dan tidak ingin rentan dihinggapi penyakit terutama yang berkaitan dengan stress, praktek coaching dengan compassion ini terlalu berharga untuk tidak dijalankan.

 

*)Boyatzis, R. E., Smith, M. L., & Blaize, N. (2006). Developing Sustainable Leaders Through Coaching and Compassion. Academy of Management Learning & Education, 5(1), 8-24.