Memahami Compassion at work - Taufiq Amir
488
post-template-default,single,single-post,postid-488,single-format-standard,bridge-core-2.7.2,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-25.7,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.6.0,vc_responsive

Memahami Compassion at work

Memahami Compassion at work

Compassionate-LeadershipCompassion atau belas kasih secara umum adalah kondisi perasaan, emosi, serta perilaku merespon kita, yang memotivasi kita untuk peduli dan berorientasi membantu saat kita menyaksikan atau mendengar satu penderitaan. Para ahli psikologi sosial belum punya konsensus tentang definisi compassion ini. Tapi, Sprecher dan Fehr (2005) menawarkan rumusan yang cukup komprehensif:

Compassion is an attitude toward other, either close or strangers or all of humanity; containing feelings, cognitions, and behaviors that are focused on caring, concern, tenderness, and an orientation toward support, helping, and understanding the other(s), particularly when the other(s) is/are perceived to be suffering or in need.

Bila dalam kehidupan sehari-hari perasaan kita tersentuh dan prihatin atas situasi yang kurang menguntungkan pada orang lain, itulah awal dari compassion. Misalnya kita rasakan itu ketika peminta-minta (yang sungguhan!) melintasi mobil kita di lampu merah. Saat kita melihat dari kejauhan, satu keluarga miskin dengan tempat tinggal apa adanya di kolong jembatan atau di bantaran sungai. Saat menyaksikan TV yang menyiarkan liputan masyarakat pra sejahtera yang berebut dalam satu pembagian makanan. Nah, seperti apa compassion dalam dunia kerja?

Tak berbeda jauh. Bukankah ada saja rekan kita yang mengalami berbagai beban masalah yang membuatnya dirudung sedih. Ada yang merasa atasannya terlalu keras atau kasar menyikapi kinerja yang kurang memuaskan. Atau karena rentetan persoalan dalam pekerjaan, yang membuat stress. Rencana perubahan strategi perusahaan yang ?menganggu? rencana karier seseorang pun berpotensi memberi tekanan. Misalnya pemindahan jabatan atau lokasi pekerjaan. Atau? promosi, tapi bukan pada bidang yang sedang diminati dan diincar. Bisa juga karena yang perasaannya terhina karena ada rekan kerja satu tim yang tidak punya rasa hormat bekerjasama. Begitu pula kalau rekan kerja kita mengalami kecelakaan kerja. Bahkan orang bisa terlihat tertekan, ketika dia tidak berhasil menemukan makna apa-apa dalam pekerjaannya.

Daftar di atas akan terus bertambah bila masalah pribadi kita sertakan: yang rumahnya baru saja kebakaran; yang keluarganya mengalami kecelakaan parah; yang anaknya divonis kanker oleh dokter; yang terpaksa bercerai dengan pasangannya. Semua ini berdampak kuat pada karyawan lain dan organisasi, ketika ujungnya ketidakhadiran meningkat, karyawan keluar masuk, produktivitas yang merosot, atau biaya asuransi yang melonjak. Selain ongkos rupiah, kondisi ini juga menghasilkan berbagai biaya sosial seperti menurunnya mutu hidup karyawan. Semua ini bisa diminimalkan, bila tidak menghilangkan sama sekali, dengan praktek-praktek compassion, baik itu dilevel organisasi maupun individu.

Hal-hal tidak menguntungkan, memprihatinkan, penderitaan, adalah fakta yang selalu dialami karyawan dalam pekerjaan. Organisasi dan karyawan harus secara aktif membangkitkan trust, concern, care atas karyawan yang mengalaminya. Terutama para pemimpinnya. Lebih bagus lagi bila praktek ini juga meluas tidak sekadar pada karyawan saja, tapi juga pada stakeholder yang lain, seperti pemasok atau pelanggan.

Sudahkan organisasi atau pemimpin anda di kantor seperti ini?