Developmental Passion - Taufiq Amir
641
post-template-default,single,single-post,postid-641,single-format-standard,bridge-core-2.7.2,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-25.7,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.6.0,vc_responsive

Developmental Passion

Developmental Passion

passionPassion adalah salah satu jargon dunia pengembangan karier yang kini popular. Banyak artikel, buku dan seminar yang mengulas tentang passion. Sayangnya, rumusan yang diberikan tentang apa itu passion sering kabur dan kerap menjadi bahan pertanyaan banyak orang. Salah satu pertanyaan yang mungkin juga sering anda dengar adalah: Apakah passion itu sesungguhnya ada pada kita (a priori), sehingga yang perlu kita lakukan adalah mendapatkan karier atau pekerjaan yang relevan, atau ia sesuatu yang dapat kita bangun seiring dengan berkembangnya karier kita? Seperti anggapan umum, saya juga merasa bisa saja yang pertama terjadi (passion sudah ada sebelumnya). Sehingga anjuran ?find your own passion in you? bukanlah hal yang salah. Tapi, situasi yang kedua, dimana seorang dapat membangun passion, juga sangat terbuka kemungkinannya. Saya ingin memulai argumen saya dengan menawarkan rumusan berikut: Passion adalah kecintaan seorang atas satu profesi/bidang pekerjaan karena anggapan adanya kesesuaian kompetensi dan keyakinan kebermaknaan bidang itu untuk kemajuan kariernya.

Prinsip dari rumusan ini adalah; passion adalah sesuatu yang bersifat developmental, tidak statis. Ketiga elemen utamanya; kecintaan, kompetensi, dan kebermaknaan (meaningfullness), pada dasarnya mungkin untuk dibangun atau diperkuat.

Prinsip ini merupakan kunci bagi kita menjawab pertanyaan awal tadi. Membangun kecintaan terhadap profesi atau jenis pekerjaan tertentu bukan hal mustahil. Orang yang tadinya bersikap biasa saja, dengan lingkungan kerja yang kondusif, pencapaian-pencapaian yang signifikan, pengakuan dari atasan atau sejawat, bisa jadi jatuh cinta dengan kariernya. Ini sederhana: kita bisa belajar untuk mencintai. Pasangan yang menikah karena dijodohkan saja bisa membina cintanya, kenapa tidak untuk satu bidang karier? Sumberdaya yang dimiliki oleh individu, yang didukung oleh organisasi dapat menjadi modal menumbuh kembangkan cinta seseorang pada satu profesi.

Dengan cara yang sama hal di atas juga bisa terjadi dengan kompetensi. Tidak mungkin passion tumbuh ketika orang merasa tidak kompeten dan kurang yakin untuk dapat berprestasi optimal. Anggapan atas kompetensi ini pun bisa diubah, karena kompetensi itu bisa dibangun. Ketika seorang memiliki keinginan untuk belajar, meningkatkan wawasan serta keterampilannya, maka itu sudah awal yang baik. Fasilitas dari organisasi, atasan dan rekan kerja kembali menjadi pupuk untuk pengembangannya.

Anggapan kebermaknaan (meaningfullness) atas sebuah pekerjaan pun bisa juga bergeser.? Sudah banyak studi tentang keproaktifan karyawan mengubah persepsinya atas rancangan pekerjaan, karier dan pekerjaan dapat meningkatkan kebermaknaan sebuah bidang pekerjaan. Baik itu tentang tugas-tugas (tasks) terkait, maupun hubungan yang terjadi dalam lingkup pekerjaan. Pada gilirannya ini menambah motivasi kerja dan dapat berujung pada kecintaan. Perawat di rumah sakit yang melihat pekerjaannya lebih holistik, yakni membantu kesembuhan pasien, bekerja lebih energetik daripada mereka yang melihat pekerjaannya sekadar rangkaian tugas-tugas medis. Tenaga penjual produk-produk teknologi, bisa merasa pekerjaannya lebih bernilai ketika mereka memandang dirinya lebih sebagai ?konsultan? ketimbang ?salesman?.

Kemungkinan membangun ketiga elemen passion di atas akhirnya juga mengisyaratkan passion dapat bersifat majemuk. Artinya, passion tidak harus terbatas pada satu bidang karier saja. Saat seorang wartawan mengatakan passion nya adalah jurnalistik, boleh jadi di saat yang sama dia juga punya passion untuk ?media sosial?. Ia dapat saja menapaki jenjang kariernya di sebuah mingguan hingga menjadi pemimpin redaksi dengan menjalankan panggilan passion jurnalistiknya. Tapi, bukan tidak mungkin di tengah jalan ia menyebrang membangun karier sebagai ?digital branding manager?, karena ia memilih mengalihkan prioritasnya ke passion yang kedua, yakni ?media sosial. Ini berarti, ketika seorang belum berkesempatan berkarier di bidang dimana ia memiliki passion utamanya, ia bisa saja fokus pada passion yang menjadi prioritas kedua. Karena ia membangun kecintaannya, bidang yang tadinya hanya menjadi prioritas kedua, bisa berubah menjadi yang utama.

Saya menduga, mekanisme passion yang berkembang ini mungkin juga berfungsi kala seseorang mendapat tantangan pekerjaan baru yang berbeda dari pekerjaan sebelumnya. Aburizal Bakrie dulu pernah begitu antusias mengurus Kementerian Sosial RI, padahal passion awalnya adalah bisnis. Emirsyah Satar, bisa terus berprestasi memimpin di Garuda Indonesia, padahal bidang keuangan dan perbankan disukainya. Tak ada yang meragukan kecintaan Dahlan Iskan menangani bisnis media, tapi toh dia tidak kehilangan gairah menjadi direktur utama PLN, dan kini menteri Kementerian BUMN. Hal yang serupa mungkin juga sudah terjadi dengan anda.

Passion perlu diidentifikasi, tapi juga bisa dibangun. Ketika anda menolak atau menghindari satu tawaran karier, dengan mengatakan ?itu bukan passion saya?, anda perlu berpikir ulang. Menganggap passion bersifat statis, bisa jadi anda sedang mengabaikan sebuah peluang besar untuk kemajuan dan perkembangan karier anda.