Nurturing What It Best; Bagaimana lingkungan positif menjadi buffer hal-hal yang negatif - Taufiq Amir
75
post-template-default,single,single-post,postid-75,single-format-standard,bridge-core-2.7.2,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-25.7,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.6.0,vc_responsive

Nurturing What It Best; Bagaimana lingkungan positif menjadi buffer hal-hal yang negatif

Nurturing What It Best; Bagaimana lingkungan positif menjadi buffer hal-hal yang negatif

flourishCobalah simak lagi tulisan tentang awal mula berkembangnya Psikologi Positif (Positive Psychology; Awal mulanya?.), tentang bagaimana Dr. MartinSeligman memiliki pikiran tentang bagaimana seharusnya Psikologi merambah ke hal-hal yang lebih positif. Terlihat jelas bahwa Psikologi, bukan saja semata-mata studi tentang patologi, kelemahan, dan berbagai “kerusakan” (damage); tapi juga merupakan studi tentang kekuatan dan virtue, hal-hal yang baik, yang lebih bernilai. Jelas hal ini juga bisa kita terapkan dalam pengelolaan karyawan di Organisasi. Kita tidak boleh hanya fokus pada kelemahan karyawan, pada kekurangmampuannya, pada kesalahannya. Justru, kita harus mendorong hal-hal yang positif pada dirinya.

Jadi, istilah istilah treatment yang kerap kita dengar dalam psikologi, itu seharusnya tidak terbatas pada hal-hal “memperbaiki” yang sakit, tapi, istilah Seligman dan rekan-rekannya, “nurturing what is best. Psikologi tidak boleh sekadar tentang bagaimana kita memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan sakit atau sehat; tapi lebih dari itu. Artinya, kita perlu menggunakannya untuk masalah dalam pekerjaan, untuk masalah pendidikan, insight, bahkan tentang cinta, dan permainan. Meskipun begitu, para pendukung psikologi positif tetap merasa semua ini perlu didukung dengan metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan, bukan sekadar omong kosong saja.

Dengan nurturing what is best, kita sudah masuk pada hal-hal yang sifatnya “pencegahan”. Bukan mengobati, dalam arti mengoreksi kelemahan saja, tapi perspektifnya lebih fokus pada pembangunan kompetensi yang sistematis. Jadi sebelum karyawan stress, kita coba cegah dengan mendorong resiliensinya. Sebelum karyawan patah semangat, kita coba bangun optimismenya, dan cara memandang masa depannya. Sebelum karyawan, bosan lantas menjadi tidak produktif, kita bangun pikirannya untuk engage dengan pekerjaannya; memberi makna (meaning) baru pada pekerjaan2 nya. Sebelum karyawan keluar karena hubungannya yang buruk dengan atasan, kita tingkatkan kapasitas hubungannya. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Dari berbagai penelitian ditemukan, pada dasarnya manusia itu memiliki kapasitas untuk mencegah hal-hal yang menganggu kesehatan mental kita. Ada kekuatan dalam diri kita yang bisa berfungsi sebagai buffer, penyangga sebelum kita mengalami gangguan tadi. Kita sesungguhnya memiliki modal keberanian, berpikir untuk masa depan, memiliki harapan dan optimisme, kejujuran, kegigihan dan kapasitas untuk mengalami flow dalam hidup. Semua ini adalah modal manusia dalam hidup. Para pendukung psikologi positif, yang berorientasi pada pecegahan percaya bahwa modal tadi adalah kekuatan kita sebagai manusia yang berfungsi sebagai buffer, penyanga atas berbagai ketidaksehatan mental kita atau kondisi yang negatif. Dengan modal ini pula kita bisa meningkatkan kekuatan kita ketimbang memperbaiki kelemahan kita. Sekali lagi, ini bisa kita lakukan baik di tempat kerja, maupun juga di rumah, di sekolah, maupun di kelompok masyarakat yang kita ikuti. Iklim positif ini harus kita bangun terus.

Dengan seperti ini, individu, termasuk juga diri kita, tidak kita lihat sebagai individu yang pasif dalam merespon berbagai rangsangan; tapi individu adalah orang yang dianggap sebagai pengambil keputusan, dengan pilihan dan hal-halyang disukai, dan berbagai kemungkinan untuk menguasai hal tertentu (mahir), dan efektif. Psikologi positif pada dasarnya mengingatkan bahwa ilmu psikologi harus membuat orang menjadi lebih kuat dan lebih produktif dan membuat potensi yang ada pada diri individu menjadi teraktualkan.

Hal-hal di atas, tidak mungkin atau sulit bila pada diri dan di sekeliling kita dipenuhi hal-hal yang negatif. Mengapa bisa seperti itu? Bagaimana dengan masyarakat di Indonesia? Apakah kita tergolong lebih positif atau negatif? Bagaimana lingkungan kerja anda? Lebih banyak negatif atau positif?

Akan kita bahas lebih jauh pada artikel berikutnya ??