Thriving Country; What we can learn from S'pore - Taufiq Amir
77
post-template-default,single,single-post,postid-77,single-format-standard,bridge-core-2.7.2,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-25.7,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.6.0,vc_responsive

Thriving Country; What we can learn from S’pore

Thriving Country; What we can learn from S’pore

Singapore_Skyline_Panorama5 hari di Singapura 2 minggu lalu, seperti biasa memberikan pengalaman tersendiri. Rasanya, banyak orang Indonesia yang berkunjung ke negeri kecil ini, mau tidak mau harus berdecak kagum. Pemerintah dan masyarakat negara ini memang maju dari waktu ke waktu.

Dulu orang pulang dari Singapura paling-paling hanya bercerita tentang Sentosa Island, dan menyebut beberapa pusat Belanja. Kalau tidak CK Tang, atau Metro, atau nama-nama yang ada di jalan Orchad. Kemudian, orang bercerita tentang bandara Changi atau Singapore Airlines. Lalu berlanjut dengan MRT dan jaringan Eazylinknya. Terus, orang mulai menyebut-nyebut Rumah Sakit, sebagai wisata berobat. Setelah itu, Esplanade. Ada juga Night Safari. Beberapa waktu lalu, orang lalu mulai menyebut Singapore Flyer yang konon no.1 terbesar di seluruh dunia. Juga tentang berpetualang dengan DHL baloon. Bulan Agustus nanti, ada Singfest, event tahunan yang menyajikan konser musik semarak kelas dunia. Kali ini, dijanjikan akan lebih spektakuler dan dipastikan bisa menyedot kawula muda dari berbagai penjuru Negara ? termasuk, Indonesia tentunya (MTV Indonesia sudah menggembar-gemborkannya lewat website). Dan yang paling menghebohkan pada September nanti, F1 Singapore Grand Prix ! Yang terakhir ini akan menjadi event pertama di dunia, karena dilakukan di malam hari.

Singapura seakan tidak berhenti. Mereka bergerak maju- mendesak terus. Ungkapan ?pushing the envelope? ?going the extra mile? dikenal luas dan terlihat nyata di terapkan di berbagai sendi kehidupan masyarakat. Kita bisa melihat itu hampir dalam banyak bidang; perekonomian, sosial, pendidikan, kesehatan (Soal politik, kita tidak usah bahas di sini….). Masyarakatnya vibrant..

Bagaimana sebuah masyarakat dan negara maju, dapat juga dijelaskan dengan konsep dalam Positive Organizational Behavior (POB) yang disebut thriving. Dalam POB, konsep ini menjelaskan bagaimana individual bekerja dalam sebuah organisasi. Thriving, kata Spreitzer (2005), adalah kondisi psikologis dimana individu mengalami baik vitalitas dan maupun perasaan belajar dalam pekerjaannya. Orang-orangnya merasa bahwa ia harus terus moving forward. Mereka tidak mau hanya stagnan dan diam di tempat. Orang yang thriving suka dan in gin mempelajari hal-hal yang baru.

Ada dorongan dalam kehidupan dan pekerjaannya, dan tidak mau sekadar pada posisi mediokriti saja. Karena mau maju, risiko yang harus dihadapinya adalah melakukan penyesuaian dan perubahan-perubahan. Ini relatif mudah diatasi oleh orang yang thriving, karena mereka memiliki kapasitas untuk beradaptasi dan dapat menavigasi dan merubah pekerjaannya, demi perkembangan dirinya. Orang-orang ini merasa berenergi untuk menjalankan pekerjaannya dan lebih berkomitmen dalam dalam menjalankannya. Engagementnya, kata orang sekarang, lebih tinggi. Kinerja? jangan ditanya, karena tentulah punya kemungkinan untuk lebih baik.

Organisasi dengan orang-orang yang thriving, adalah organisasi yang memiliki vitalitas dan selalu dalam kondisi belajar. Capaian atau prestasi yang diperoleh, akan mendorong organisasi itu mencapai prestasi selanjutnya. Tantangan demi tantangan, itu yang dicari.

Jadi, baik itu pemerintah, masyarakat kalangan bisnis di Singapura, menyukai tantangan yang mereka hadapi. Tantangan demi tantangan membuat mereka maju, selangkah demi selangkah. Mereka tidak pernah bosan atau kehabisan ide. Itulah ciri organisasi yang thriving. Dari waktu ke waktu para karyawannya menyajikan prestasi baru. Sebuah prestasi tidak cukup, dan akan terus ditambah.

Situasi seperti di Singapura adalah kondisi thriving secara kolektif dari masyarakatnya. Dalam konteks organisasi, sebuah kelompok, unit atau organisasi berpikir untuk thriving ketika para anggotanya secara kolektif mengalami pembelajaran dan energized. Anggotanya, tidak khawatir untuk mencoba hal-hal yang baru, suka mengambil risiko, dan belajar dari kesalahan. Mereka membangun kapabilitas baru dan juga kompetensi dari pembelajaran yang terjadi. Ini semua akan dapat digunakan untuk merespon segala tuntutan dari ketidakpastian yang dihadapi oleh organisasinya. Dengan terenergikan, organisasi secara kolektif juga akan memiliki kapasitas untuk berhadapan dengan kendala, tantangan, dan berbagai kesulitan serta kegagalan. Artinya, kesulitan mungkin akan dialami, namun itu tidak dirasakan menjadi penghalang.

Thriving yang Menular

Seperti juga energi dan emosi positif lainnya, kondisi thriving punya peluang menular kepada orang lain. Emosi yang menular, adalah proses dimana seorang atau sekelompok mempengaruhi emosi atau perilaku orang lain atau kelompok lain, baik secara sadar maupun tidak. Orang yang bernergi akan ditangkap energinya oleh orang lain, unit atau organisasi lain. Dengan demikian, thriving bisa terjadi secara kolektif. Dalam kasus Singapura ini penularan ini pasti terjadi. Sekelompok pelaku bisnis kreatif di Orchard, menjadi sumber inspirasi pelaku bisnis di Bugis Junction. Apa yang dibuat oleh National University of Singapore (NUS), ditangkap sebagai peluang pengembangan oleh Singapore Management University (SMU), atau oleh Nanyang Technological University (NTU). Inovasi yang dilakukan sebuah departemen di pemerintahan, menjadi tantangan bagi departemen lain.

Di sini, sekali lagi kita melihat hubungan situasi dan suasana positif memainkan perannya. Betapa manfaat penciptaan situasi positif dan upaya sengaja untuk memupuk dan menularkannya bisa membuat sebuah negara berbeda. Singapura sengaja menebarkan energi dan emosi positif di ini. Kalau kita lihat berbagai saluran medianya (TV, Koran –, seperti jaringan Media Corp misalnya), kita akan lebih banyak melihat, mendengar, dan membaca hal-hal positif. Jauh lebih banyak dari hal-hal yang negatif. Gerundelan, suara-suara sinis orang-orang tertentu memang ada, tapi terdengarnya sayup-sayup saja. Semuanya tidak bisa mengalahkan hal-hal positif yang tersebar, yang beredar di mata masyarakat. Masyarakatnya pun cenderung menjadi penurut, karena segala sesuatu dicoba untuk dipenuhi. Sekolah, perumahan, transportasi, kesehatan, semuanya dicoba untuk dipenuhi dan diperbaiki. Di pemerintah, hal-hal yang negatif seperti korupsi hampir tidak terdengar. ?Manusia bisa salah. Salah itu normal.? Kata perdana menteri mentor Lee Kuan Yew, suatu saat di Channel News Asia, tanggal 9 Juli lalu. ?Tapi kita tidak akan membiarkan orang sengaja berbuat yang tidak benar (imroper), seperti korupsi.? Begitu katanya.

Begitulah, kondisi Singapura. Individu, masyarakat, pemerintah dan pemimpinnya bersikap positif dan thriving. Jelas perlu kita tiru, baik dari tingkat individu maupun pada tingkat yang lebih luas.