Emosi Negatif; Harus kita kelola - Taufiq Amir
54
post-template-default,single,single-post,postid-54,single-format-standard,bridge-core-2.7.2,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-25.7,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.6.0,vc_responsive

Emosi Negatif; Harus kita kelola

Emosi Negatif; Harus kita kelola

Masyarakat Indonesia, umumnya menyukai hal-hal yang bersifat negatif. Produsen TV, atau media cetak di Indonesia tahu persis itu akan hal itu. Lakukan riset sederhana; misalnya tontonlah program TV, atau bacalah sebuah harian. Kemudian, hitunglah, seberapa banyak bahasan atau judul artikel yang ada lebih berbau positif atau negatif. Niscaya anda akan percaya bahwa hal-hal negatif, lebih banyak ketimbang yang positif. Semakin banyak unsur “darah” atau “air mata”, dan berbagai “hal tidak senonoh ? seperti misalnya berbau seks” lainnya, semakin digemarilah liputan atau programnya. Menjamurnya acara infotainment dengan liputan utama hal-hal diseputar ketiga aspek tadi, adalah contoh yang paling gamblang untuk kita di Indonesia. Program sinetron di saluran TV kita, dipenuhi adegan-adegan yang mengumbar ekspresi negatif; rasa marah, dengki, perasaan jengkel, sifat cemburu, berkhianat, curang, sedih, dan seterusnya. Sulit untuk menolak anggapan, di sekitar kita lebih banyak didengar dan dilihat hal-hal yang bersifat negatif. Emosi negatif, lebih mencolok ketimbang emosi positif. Mengapa itu bisa terjadi? Apa dampaknya bagi masyarakat? Apa yang harus kita perbuat memerangi emosi negatif tadi?

Lebih diperhatikan

Salah satu yang membuat hal-hal yang bersifat negatif lebih sering diperhatikan, adalah karena wujud ekspresi atau tindakannya relatif lebih mudah dibedakan. Kita bisa dengan mudah melihat orang dalam kondisi marah?(anger)?atau takut?(fear), sedih?(sadness)misalnya. Respon tindakan orang yang punya perasaan negatif cenderung lebih mudah kita perhatikan. Bila kita berada dalam sebuah kerumunan, maka orang-orang yang sedang berada dalam emosi positif, seperti misalnya lagi dalam perasaan senang tidak tidak menjadi perhatian kita. Sebaliknya, jika ada yang menangis, akan segera menjadi pemandangan yang aneh dan sekaligus menarik. Ini pulalah yang membuat studi para peneliti atau ahli psikologis lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat negatif ini. Berbagai perubahan fisiologis, relatif lebih mudah diikuti dari emosi negatif. Misalnya, kalau dalam keadaan takut, akan lebih banyak aliran darahnya yang terpompa ke otot, dan yang bersangkutan siap-siap berlari.

Setelah mengalami emosi negatif, katakanlah rasa takut, marah akan lebih mudah seseorang dijelaskan langkah-langkah selanjutnya. Tubuh berubah dan mendorong individu untuk bertindak, dan ekspresi wajah dihasilkan pada emosi negatif sangat berbeda. Tidak begitu dengan emosi positif. Emosi positif, lebih sulit dibedakan. Seseorang yang berbahagia, dengan seorang yang merasa puas, belum tentu bisa dibedakan aktivitas spesifiknya selanjutnya.

Apakah emosi negatif selalu jelek?

Memiliki emosi negatif, tidaklah selamanya buruk. Emosi negatif memiliki nilai adaptif secara intuitif pada diri kita. Kita selalu menjadi “terjaga” atas apa yang kira-kira akan menganggu kita nantinya. Misalnya, ketika minggu depan akan ujian, emosi negatif kita mengingatkan agar kita segera bersiap diri; kalau mau lulus ujian, kita harus mempersiapkan diri. Ketika orang mengalami kejadian yang sifatnya negatif, mereka akan memobilisasi sumberdaya mereka; kognitif maupun fisik, untuk berurusan dengan situasi itu ? mereka fokus pada perhatian atas bagaimana meningkatkan situasi dan berpikir cara-cara untuk mencegah hal serupa di masa depan. Orang yang tadi mau ujian, akan membayangkan hal-hal negatif kalau ia tidak mempersiapkan diri mengikuti ujian. Ini akan membuat mereka mempersiapkan diri. Emosi negatif, menuntut tindakan yang segera dan jelas. Saat orang merasa lapar, mereka cari makan. Saat mereka marah, mereka mau lakukan apa saja. Dengan emosi negatif pulalah, masyarakat kuno dulu mengantisipasi segala musuhnya; apa-apa yang mengancam jiwa mereka. Reaksinya jelas; ada bahaya, kita akan lawan, atau kita akan lari?(fight or flight). Fokus pikiran kita akan menyempit kepada apa yang menjadi solusi, dalam jangka pendek.

Tapi bila beban negatif ni kebanyakan, maka akan merusak kita dan berdampak buruk pada diri kita. Apalagi, karena fokus, pikiran kita pendek, sempit dan alternatif solusi terlihat menjadi terbatas. Orang yang biasa dicurigai, pada akhirnya mencurigai siapapun yang akan mencampuri urusannya. Orang yang biasa berbuat curang, akan antisipatif bahwa orang mungkin akan berbuat curang kepadanya. Dalam taraf yang ekstrim, orang yang biasa berbuat kekerasan, akan melihat hal-hal positif di sekitarnya, sebagai sesuatu yang mengancam eksistensinya. Bayangkan, orang bisa berbuat jahat, saat ada yang ingin berbuat baik pada dirinya! Jadi, kalau begitu banyak kekerasan terjadi di sekitar kita, bukan tidak mungkin bila diusut karena perkara emosi negatif ini.

Yang lebih parah lagi, emosi negatif lebih mudah menyebar dari emosi positif. Frost (2003), yang meneliti emosi negatif di organisasi ini, menyebutkan bahwa emosi negatif ini seperti “toxic- racun” yang bisa menular. Semakin banyak emosi negatif di sekitar kita, semakin terpengaruh kita untuk juga bersikap negatif.

Menyebarluaskan Emosi Positif

Jadi apa yang harus kita perbuat? Saat TV, media cetak, melulu berisi hal-hal yang negatif? Media kita harus lebih sering kita dorong untuk memberitakan hal-hal positif.

Emosi positif harus diperbanyak, disebarluaskan. Kita harus mulai dari diri kita sendiri. Buatlah hal-hal yang positif. Ceritakanlah hal-hal yang positif, perbanyak dan sebarkan. Bila ada hal-hal yang negatif, saring, pilih baru sebarkan. Jangan menyebarluaskan hal-hal yang negatif karena itu akan memperburuk keadaan. Seperti istilah Frost, harus lebih banyak yang berperan sebagai?toxic handler.

Bagaimana caranya? Apa saja yang bisa mengurangi emosi negatif? Apakah kita bisa membangun emosi positif?

Kita akan bahas lebih detil, hal-hal yang menjadi?toxic, racun dalam organisasi pada artikel yang berikutnya.