29 Jun Emosi negatif sebagai racun
Seperti yang kita bahas di artikel sebelumnya (Emosi Negatif; harus dikelola), kita perlu mengelola emosi negatif karena cenderung merusak. Ia pun bisa menular dan menyebar ke mana-mana. Kalau ditulisan di atas kita melihat berbagai sebaran emosi negatif di tengah masyarakat kita (dari saluran media cetak+elektronik), kini kita coba lihat bagaimana ia merusak dan merebak di dalam lingkungan organisasi.
Untuk memulainya, saya ajak anda mengingat-ingat apa yang mungkin pernah anda alami, rasakan atau anda lihat terjadi di Organisasi. Pernahkah anda merasa menjadi ?korban? karena ada kebijakan perusahaan yang tidak masuk akal? Apakah anda pernah tertekan, akibat atasan atau manajer bertindak curang? Apakah anda pernah merasa marah, karena kolega anda ?menyalib? anda dalam satu usulan, dan merugikan anda? Apakah anda pernah jengkel, karena anda melihat berbagai kebobrokan di departemen anda, sekaligus juga frustrasi karena tidak ada yang mendengarkan peringatan anda? Apakah anda pernah kehilangan semangat dan harapan, karena orang disekitar anda atau atasan anda begitu ?bebal?nya tetap saja menjalankan aktivitas-aktivitas negatif?
Semua pertanyaan di atas, adalah fakta yang ada pada hampir di setiap organisasi pada semu level. Rasa marah, frustrasi, tanpa harapan pada individu merebak karena ada sesuatu yang terjadi pada pekerjaan (misalnya kebijakan) dan hubungan mereka dengan orang lain yang ada di kantor. Toxicity menurut Peter Frost (2003), pada dasarnya merupakan by product yang normal dari kehidupan organisasi. Yang berbeda-beda, mungkin cuma soal intensitasnya. Buku Toxic Emotions at Work; and what you can do about them, karya Frost adalah buku yang cukup baik menjelaskan hal-hal di atas. Ada banyak kejadian, langkah-langkah, bentuk2 hubungan dalam organisasi yang menghasilkan perasaan sakit pada individu, dan kemudian menjadi ?racun? yang menyebar ke organisasi. Di buku ini juga dibahas bagaimana manajer dan profesional yang mengurusi rasa sakit ini ? orang-orang yang disebut Frost sebagai ?toxic handlers? ? yang bekerja, bahkan sering secara tidak nyata, membantu orang yang terkena racun tadi dan membuat mereka fokus pada pekerjaan mereka. Para toxic handlers ini melihat bagaimana mereka harus mencegah toxicity yang dapat membuat demoralisasi karyawan, mengganggu kinerja, dan akhirnya menular kepada kesehatan organisasi. Jadi, kalaupun hal-hal negatif di paragraf dua di atas tidak anda alami, mungkin anda melihat itu di alami orang lain, dan anda berperan sebagai ?toxic handler? nya.
Memang, tidak selamanya emosi negatif itu melulu urusan organisasi, karena individu punya latarbelakang pribadi sendiri-sendiri. Apapun penyebabnya, organisasi harus mampu memperkecil dan mengelolanya sedemikian rupa. Jika tidak, perusahaan sebenarnya beroperasi tidak dengan kapasitas penuh, karena ada produktivitas potensial yang seharusnya hadir, malah terbenam. Bagaimana karyawan mau produktif, bila keputusan atasannya membuat ia sulit tidur di rumah, dan bangun pagi dengan perasaan lesu serta malas untuk bekerja. Bagaimana karyawan mau aktif, bila mereka merasa ada harapan dan tujuannya yang terkendala atau dirusak. Perasaan-perasaan negatif itu akan membuat rasa percaya diri, rasa bangga (self-esteem) dan harga diri seseorang anjlok. Mereka akan kehilangan sense of connection nya dengan tujuan organisasi, dan visi organisasi (bila ada). Apapun tugas yang mereka jalankan, semua serba buruk dan pahit. Meskipun kemampuan mereka ada, hasrat orang-orang dengan emosi negatif ini selalu hampa. Sense of hope orang-orang ini meredup, dan pandangannya atas masa depan sempit. Merujuk pada penelitian yang dilakukan Daniel Goleman (pencetus gagasan Emotional Quotient), orang yang tanpa harapan pada dasarnya mengalamai ?neural hijacking?. Ada perangkat dalam otaknya yang tidak berfungsi dengan baik sehingga individu jadi malas dan enggan bereaksi; baik secara emosionil apalagi secara tindakan. Kita seakan-akan tidak memiliki kontrol lagi pada diri kita, dan melakukan yang sesungguhnya tidak kita inginkan. Mulai dari malas-malasan, tidak optimal, asal-asalan dan sebagainya. Dalam kasus yang parah, seperti yang diceritakan Goleman, orang bisa berkeinginan menghabisi nyawa seseorang tanpa berdaya menghalangi niatnya meski ia tahu itu adalah hal yang sangat salah.
Sementara itu, bukankah hal-hal seperti ?harapan? dari individu itu yang akan membuat organisasi kita menciptakan nilai, survive dan berkembang? Bisakah anda membayangkan betapa meruginya kita bila di organisasi kita penuh orang-orang negatif ini? bukankah begitu nyata konsekuensinya bila produktivitas karyawan kita tidak optimal (apalagi mangkir)? Bagaimana kalau yang terjadi malah eksodus? Kita belum menghitung berapa yang harus dikeluarkan perusahaan bila individu yang bersangkutan harus menjalani perawatan di rumah sakit, premi asuransi dan berbagai ongkos intangible lainnya. Ada lagi yang lebih menyeramkan dan berbahaya; bagaimana bila orang-orang yang negatif itu melihat organisasi dan koleganya sebagai ?lawan?? Untuk kasus terakhir ini, bukan tidak mungkin individu yang merasa tertekan dengan emosi negatif, alih-alih menerima, berbalik dan ?melawan?. Kata Frost, orang-orang seperti ini bisa saja merasa ingin ?menyamakan skor? nya terhadap organisasi. Apapun bisa dilakukannya agar organisasi ?kalah?. Mereka balas dendam, menyebarkan gosip buruk, bertindak sinis, mistrustful, dan kalau perlu melakukan sabotase!
Emosi negatif bisa merebak dan merusak organisasi. Begitu banyak hal-hal yang tidak perlu terjadi bisa kita alami karena kita tidak mengelolanya. Tidak sedikit kerugian, baik yang bersifat tangible dan intangible yang harus dialami organisasi karenanya. Karena itu, kita perlu mengantisipasi ini semua. Psikologi positif, memberikan kita berbagai jalan untuk bertindak antisipatif atas berkembangnya emosi negatif. Apa saja sebenarnya sumber-sumber emosi negatif di organisasi? Apakah sebenarnya anda merupakan bagian dari sumber itu, atau anda lebih berperan sebagai toxic handler? Atau mungkin keduanya sekaligus? Apa yang harus dibuat agar suasana positif, yang lebih compassion dapat kita ciptakan?