Thriving; Belajar demi Vitalitas demi Kesehatan - Taufiq Amir
58
post-template-default,single,single-post,postid-58,single-format-standard,bridge-core-2.7.2,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-theme-ver-25.7,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,qode_header_in_grid,wpb-js-composer js-comp-ver-6.6.0,vc_responsive

Thriving; Belajar demi Vitalitas demi Kesehatan

Thriving; Belajar demi Vitalitas demi Kesehatan

Rajin belajar bukan saja menjadi ? kata orang tua dulu — pangkal pandai. Tapi juga pangkal sehat. Ya. Belajar dan vitalitas dalam bekerja, dapat menjadi sumber kesehatan individu yang pada saatnya akan menguntungkan organisasi. Itulah yang digambarkan dalam konsep Thriving. Thriving, adalah suatu kondisi psikologis dimana seseorang merasa dirinya mengalami progres dan momentum yang ditandai dengan perasaan mengalami pembelajaran sekaligus perasaan penuh vitalitas (Spreitzer, et.al, 2006). Spreitzer dan rekan-rekannya di Ross School of Business, University of Michigan, merumuskan dua variabel penting dalam thriving, yakni belajar dan vitalitas.

Pembelajaran, seperti yang sama-sama kita tahu adalah perasaan saat kita memperoleh, atau menerapkan pengetahuan dan kecakapan tertentu (Dweck, 1988). Sementara vitalitas adalah saat kita mengalami perasaan positif, seakan-akan ada energi yang tersedia untuk kita manfaatkan. Kedua unsur di atas memang komponen penting dari kondisi thriving karena ia menjadi motor yang membuat kita penuh semangat dan gairah.

Salah satu alasannya adalah, sebagai individu, kita pada dasarnya memiliki pandangan hedons, dimana ada kecenderungan dari kita mencari pengalaman yang menyenangkan. Di sisi lain, ini menjelaskan bahwa kita sebagai individu perlu merealisasikan potensi penuh diri kita. Dengan thriving orang merasa mendapatkan tenaga (energized) dan merasa dirinya bernilai. Dengan demikian, kondisi Thriving itu pada dasarnya produktif, dan punya peluang untuk terus dikembangkan. Makanya, salah satu indikasi orang mengalami thriving, adalah mereka mengalami kemajuan itu. Mereka tidak tetap di tempat dan juga tidak merasa stagnan. Dan ini bukan soal posisi dalam satu pekerjaan atau tentang jabatan saja. Tapi juga dalam pemikiran dan aktivitas yang menjadi wadah pemikiran itu.

Ketika kita belajar, kita memperoleh hal-hal yang baru. Kita merasakan itu saat kita yang sedang belajar gitar, misalnya, dan dapat memainkan satu lagu baru. Saat kita paham cara bekerja perangkat lunak baru tertentu. Saat ada pengetahuan, yang memberi penjelasan, atas satu hal yang menjadi pertanyaan kita. Alfredson, Spetz, Theorell (1985), pernah meneliti, karyawan yang memiliki sedikit kemungkinan mempelajari hal-hal baru, semakin tinggi kemungkinannya mengalami sakit jantung. Betul, sakit jantung ! Ettner dan Grzwacz (2001) juga menemukan mereka mengalami pembelajaran lebih banyak saat bekerja, dilaporkan berkontribusi positif atas kesehatan mental dan fisik mereka.

Sebaliknya, orang bisa saja merasa ?kosong?, karena tidak ada ?berisi? apa-apa. Nah, mereka yang seperti ini pada dasarnya belum mengalami pembelajaran, juga berarti belum thriving. Merasakan gairah saja, misalnya karena suasana kerja nyaman dan penuh humor dan canda, tapi pengetahuan dan kecakapan tidak bertambah, belum dapat dikatakan thriving karena tidak ada unsur kemajuan di sana. Begitu pula kala orang merasa mampu mengerjakan sesuatu, misalnya penggunaan teknologi baru, tapi stres dan kecewa dalam proses pembelajarannya. Apalagi kalau kita menjadi orang yang patah semangat, merasa stuck, terperangkap di sebuah terowongan yang tidak ada ujungnya dan merasa tidak mengalami perkembangan apa-apa. Untuk yang terakhir ini, bukan kesehatan yang kita dapatkan, tapi penyakit. Kita sudah sering mendengar orang jatuh sakit bahkan mematikan karena urusan pekerjaannya.

Menggalakkan Thriving di Organisasi

Kini, apa yang harus dilakukan individu dan yang harus diciptakan manajer orang-orang di organisasinya mengalami Thriving secara optimal ? Pemahaman atas pendorong atau driver dari thriving penting untuk kita pahami.

Mengikuti konsep kognitif sosial dari Bandura (2000), Spreitzer et.al (2006) menemukan dimensi penggerak thriving ada pada tiga komponen perilaku agentic: yakni Fokus pada pekerjaan, melakukan ekpsplorasi dan berniat untuk menjalankan hubungan (heedful-relating). Ini yang harus sengaja diciptakan oleh individu, atau dirangsang kemunculannya oleh kepemimpinan manajer manapun.

Fokus pada pekerjaan menggambarkan derajat dimana seseorang memberikan perhatian penuh untuk memenuhi tanggung jawab yang ditugaskan padanya saat bekerja. Saat seperti ini, kita akan ?terbenam? dalam pekerjaan dan ini akan memberikan efek energetik. Vitalitas akhirnya mencuat. Dari sisi belajar, saat kita fokus, kita akan memanfaatkan modal pengetahuan dan pengalaman kita untuk mengembangkan dan memperbaiki cara dalam bekerja. Semakin kita berhasil dengan cara tertentu, semakin termotivasi dan mendapatkan tenagalah kita. Bahwa pencapaian memang akan menjadi sumber motivasi, memang sudah lama dibahas orang. Sebaliknya, hati-hati ; jangan terbenam dengan perasaan tidak kompeten, rendah diri bila pencapaian anda tidak sempurna.

Mengekplor hal-hal baru jelas akan merangsang rasa ingin tahu kita. Bila ini terjadi, perasaan energetik ? yang artinya vitalitas ? sekali lagi muncul. Kita perlu membiasakan diri mengekpsplor berbagai gagasan, informasi baru dan strategi penerapannya. Manajer, harus memperbesar kemungkinan personil dalam organisasinya mendapatkan paparan mengeksplor hal-hal baru ini. Dari belajar, pengetahuan dan kecakapan kita punya peluang untuk berkembang.

Apapula kaitannya niat berhubungan dengan orang lain dengan thriving ? Kalau kita sengaja penuh perhatian dengan orang lain, bukan berarti kita usil atau ?sirik?. Ini lebih karena kita dapat berefleksi dan melihat pekerjaan kita dibandingkan dengan mereka. Juga ada kemungkinan kita dapat berperan membantu dan memberi dukungan pada orang lain. Rasa afektif akan meningkat bila kita mendapatkan kesempatan untuk melakukan hal ini. Di sisi belajar, kita memang dianjurkan untuk menimba pengetahuan dan kecakapan dari orang lain. Berniat berhubungan dengan orang lain, akan memberikan kesempatan untuk belajar, sekaligus juga memberikan perasaan bahwa kita berperan menyukseskan sistem yang lebih besar.

Sejalan dengan upaya individu dan organisasi menciptakan pendorong thriving, di saat yang sama, seperti spiral, suasana positif sedang tercipta. Saat individu saling berhubungan dengan pihak lain, ia sekaligus menciptakan sumber daya pengetahuan. Sumber daya pengetahuan akan membuat individu mudah dengan fokusnya pada pekerjaan. Digabung dengan keinginan mengeksplor, maka individu dapat melihat apakah pekerjaannya sesuai dengan skema yang lebih luas. Dalam kondisi yang positif, kita memang terdorong untuk asyik dengan pekerjaan kita dan ?pushing the limit?, sekaligus menjadi kreatif. Individu juga jadi tidak gampang menyerah degan pekerjaanya, kalaupun ada berbagai kendala. Dalam istilah Davis, Nolen, Larsen (1998), ?Orang akan lebih cenderung mengapresiasi situasi sebagai sebuah peluang untuk berkembang, ketimbang sebuah hambatan?. Kendala-kendala lantas dianggap sebagai bagian dari adaptasi diri, sehingga orang menjadi self-adaptif, self-reward, sekaligus self-punishment. Dan yang paling penting, sekali lagi, ya itu tadi ; kita menjadi tetap sehat.